school well-being

Dunia pendidikan kini tengah mengalami pergeseran paradigma yang fundamental. Paradigma lama yang semata-mata mengagungkan prestasi akademik mulai bergeser. Sebagai gantinya, para pendidik dan pemangku kebijakan melahirkan sebuah visi yang lebih humanis dan holistik, yaitu menciptakan ekosistem sekolah yang sejahtera. Konsep yang dikenal sebagai School Well-being atau Kesejahteraan di Sekolah ini kemudian menjadi landasan baru, dengan keyakinan bahwa siswa yang merasa aman, terhubung, dan dihargai adalah siswa yang siap untuk belajar dan berkembang secara optimal. Oleh karena itu, artikel ini akan mengupas tuntas konsep school well-being, menyelami peran vital kegiatan ekstrakurikuler seperti yang peneliti Arja Rimpelä tekankan, dan mengidentifikasi faktor-faktor paling berpengaruh yang membentuknya menurut model dari Antti Konu.

school well-being

Bagian 1: Mendefinisikan Ulang Keberhasilan—Apa Itu School Well-being?

School well-being bukanlah sekadar perasaan senang sesaat di sekolah. Lebih dari itu, para ahli mendefinisikannya sebagai konsep multidimensional yang mencakup kualitas hidup siswa secara keseluruhan, baik dari aspek fisik, sosial, emosional, hingga psikologis. Intinya, ini adalah tentang bagaimana siswa merasa dan berfungsi dalam lingkungan pendidikan mereka.

Untuk membedahnya, kita dapat menggunakan kerangka populer yang para ahli dari Finlandia kembangkan. Finlandia sendiri merupakan negara pionir dalam studi kesejahteraan sekolah. Kerangka ini membagi school well-being menjadi empat pilar utama:

  1. Having (Memiliki – Kondisi Lingkungan): Pertama-tama, pilar ini adalah fondasi paling dasar yang berkaitan dengan kondisi fisik dan materiil sekolah. Misalnya, apakah sekolah menyediakan lingkungan yang aman serta fasilitas yang layak dan mendukung?
  2. Loving (Mencintai – Hubungan Sosial): Selanjutnya, karena manusia adalah makhluk relasional, pilar “mencintai” berfokus pada kualitas hubungan interpersonal. Ini tentang merasa terhubung, diterima, dan memiliki hubungan yang positif dengan teman sebaya maupun guru.
  3. Being (Menjadi Diri Sendiri – Pemenuhan Diri): Di samping itu, setiap siswa membawa keunikan dan potensi. Karenanya, pilar “menjadi” menekankan pentingnya sekolah sebagai ruang untuk aktualisasi diri. Apakah sekolah memberi kesempatan bagi siswa untuk mengejar minatnya dan menghargai usahanya?
  4. Health (Kesehatan): Terakhir, pilar ini mencakup kesehatan fisik dan mental siswa. Pertanyaannya, apakah siswa merasa sehat, tidak terbebani oleh stres berlebihan, dan memiliki akses terhadap layanan pendukung kesehatan jika perlu?

Bagian 2: Peran Vital Ekstrakurikuler dalam Lensa Rimpelä

Jika keempat pilar di atas adalah tujuannya, lalu bagaimana cara praktis untuk membangunnya? Di sinilah peneliti seperti Arja Rimpelä menyoroti peran krusial dari kegiatan ekstrakurikuler. Melalui berbagai studinya, Rimpelä menemukan bahwa partisipasi aktif dalam kegiatan hobi dan ekstrakurikuler merupakan salah satu strategi paling efektif untuk meningkatkan kesejahteraan siswa.

Mengapa kegiatan ekstrakurikuler begitu penting?

  • Laboratorium untuk Pilar “Loving”: Alasan utamanya, ekstrakurikuler adalah arena alami untuk membangun hubungan sosial. Minat yang sama menyatukan siswa di klub debat atau tim olahraga, bukan lagi nomor absen.
  • Panggung untuk Pilar “Being”: Selain membangun hubungan, ekstrakurikuler membuka panggung di mana siswa dapat bersinar dengan cara yang berbeda. Hasilnya, keberhasilan di ranah non-akademik ini memberikan suntikan kepercayaan diri yang luar biasa.
  • Katalisator untuk Pilar “Health”: Tidak hanya itu, manfaatnya bagi kesehatan juga tidak terbantahkan. Aktivitas fisik menjaga kebugaran, sementara aktivitas kreatif menjadi saluran pelepasan stres yang sehat dari tekanan akademik.

Baca Juga: Pentingnya Casel Dalam Pembelajaran

Bagian 3: Faktor-Faktor yang Memengaruhi School Well-being Menurut Konu

Setelah memahami definisinya, pertanyaan selanjutnya adalah: dari semua elemen di sekolah, faktor apa yang memiliki dampak paling besar? Untuk menjawabnya, peneliti Antti Konu mengembangkan sebuah model komprehensif. Model Konu mengkategorikan faktor-faktor yang memengaruhi school well-being ke dalam empat area besar, yaitu:

  1. Kondisi Sekolah (School Conditions): Meliputi lingkungan fisik, jadwal, dan peraturan.
  2. Hubungan Sosial (Social Relationships): Mencakup iklim sekolah dan hubungan antarwarga sekolah.
  3. Sarana Pemenuhan Diri (Means for Self-fulfillment): Terdiri dari dukungan belajar dan partisipasi siswa.
  4. Status Kesehatan (Health Status): Merujuk pada kondisi kesehatan individu siswa.

Hubungan Sosial: Jantung dari Kesejahteraan di Sekolah

Kemudian, dari keempat kategori yang dipaparkan Konu, penelitian secara konsisten menunjuk pada satu faktor sebagai yang paling dominan: Hubungan Sosial (Social Relationships).

Meskipun lingkungan fisik yang aman dan kesempatan mengembangkan diri sangat penting, kualitas hubungan interpersonal terbukti menjadi pendorong utama dari persepsi kesejahteraan siswa. Khususnya, hubungan yang positif antara siswa dan guru adalah kuncinya. Ketika siswa merasa bahwa guru mereka peduli dan adil, mereka akan merasa aman secara psikologis. Pada gilirannya, rasa aman inilah yang menjadi prasyarat bagi mereka untuk berani mencoba dan terlibat penuh dalam pembelajaran.

Selain itu, hubungan yang sehat dengan teman sebaya juga memegang peranan sentral. Merasa diterima dan memiliki teman di sekolah secara langsung melawan perasaan kesepian dan isolasi. Dengan kata lain, inti dari school well–being adalah manusia.

Kesimpulan: Kembali ke Akar Kemanusiaan

Pada akhirnya, perjalanan memahami school well–being membawa kita pada sebuah kesimpulan yang kuat. Ini adalah konsep holistik yang menuntut kita untuk melihat siswa sebagai manusia seutuhnya. Memang, kegiatan ekstrakurikuler adalah alat yang efektif untuk membangunnya. Akan tetapi, pada intinya, seperti yang digarisbawahi oleh para ahli, fondasi dari segalanya adalah kualitas hubungan antarmanusia. Dengan demikian, investasi terbesar yang bisa sebuah sekolah lakukan bukanlah pada teknologi, melainkan pada penciptaan iklim yang penuh kepedulian, rasa hormat, dan koneksi tulus. Itulah denyut nadi dari sekolah yang benar-benar sejahtera.

2 thoughts on “School Well-being, Peran Ekstrakurikuler, dan Faktor Kunci”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *