Akar Perjuangan: Benih Nasionalisme di Bawah Penjajahan
Kemerdekaan Indonesia tidak lahir dalam semalam. Akarnya tertanam dalam ratusan tahun penindasan, mulai dari eksploitasi oleh VOC hingga sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan Pemerintah Hindia Belanda. Berbagai perlawanan heroik meletus, seperti yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol, namun pemerintah kolonial berhasil memadamkannya karena perjuangan itu masih bersifat kedaerahan.
Angin perubahan datang pada awal abad ke-20. Kebijakan Politik Etis yang ironisnya bertujuan “membalas budi”, justru melahirkan generasi baru kaum terpelajar. Melalui pendidikan, mereka sadar akan nasib bangsanya dan mulai membangun kesadaran nasional. Mereka mendirikan organisasi pergerakan modern seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam, dan Indische Partij. Di luar negeri, para mahasiswa membentuk Perhimpunan Indonesia yang gencar menyuarakan gagasan kemerdekaan. Puncaknya adalah ikrar suci Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, sebuah komitmen untuk bersatu dalam satu tanah air, bangsa, dan bahasa: Indonesia.
Masa Pendudukan Jepang (1942-1945): Tirani di Balik Janji Kemerdekaan
Jepang datang pada 1942 dan mengakhiri 350 tahun kolonialisme Belanda. Dengan propaganda “Gerakan 3A”, mereka awalnya disambut sebagai “saudara tua”. Namun, kenyataannya jauh lebih pahit. Jepang mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja (romusha) lebih kejam dari sebelumnya.
Lahirnya Dasar Negara
Di tengah penderitaan, Jepang memberikan ruang bagi persiapan kemerdekaan untuk menarik dukungan. Jepang membentuk BPUPK (Dokuritsu Junbi Cosakai). Dalam sidangnya, para pendiri bangsa merumuskan dasar negara. Pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato visionernya yang melahirkan istilah Pancasila. BPUPK juga membentuk Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta, cikal bakal Pembukaan UUD 1945. Setelah BPUPK menyelesaikan tugasnya, Jepang membentuk PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai) untuk finalisasi kemerdekaan.
Baca Juga Artikel Pilihan
Temukan informasi menarik lainnya yang kami rekomendasikan untuk Anda.
Lihat Selengkapnya di SiniJendela Kesempatan: Kekalahan Jepang dan Peristiwa Penting
Bom atom di Hiroshima (6 Agustus) dan Nagasaki (9 Agustus) melumpuhkan Jepang. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito menyerah pada Sekutu. Jepang berusaha menyembunyikan berita ini, namun para pemuda radikal seperti Sutan Sjahrir berhasil mendengarnya melalui siaran radio BBC. Indonesia mengalami vacuum of power (kekosongan kekuasaan).
Peran Golongan Muda dan Peristiwa Rengasdengklok
“Golongan muda” (Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh) mendesak “golongan tua” (Soekarno-Hatta) untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Soekarno ragu, khawatir akan terjadi pertumpahan darah. Untuk menjauhkan mereka dari pengaruh Jepang, pada dini hari 16 Agustus 1945, para pemuda “mengamankan” Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok. Setelah diskusi alot dan jaminan dari Ahmad Soebardjo, mereka pun sepakat untuk membacakan proklamasi esok hari di Jakarta.
Detik-Detik Proklamasi: Malam di Rumah Maeda Hingga Gema Kemerdekaan
Rombongan kembali ke Jakarta dan menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda. Di ruang makannya, Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo merumuskan naskah proklamasi. Soekarno menulis konsepnya, lalu Sayuti Melik mengetiknya dengan beberapa penyempurnaan. Atas usul Sukarni, Soekarno dan Hatta menandatangani naskah itu “atas nama bangsa Indonesia”.
Tepat pada hari Jumat bulan Ramadhan, 17 Agustus 1945, pukul 10.00 pagi, di halaman rumah Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56, momen paling sakral dalam sejarah bangsa terjadi.
“Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.”
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ’05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta
Setelah itu, Latief Hendraningrat dan Suhud Sastro Kusumo mengibarkan bendera pusaka Merah Putih jahitan Ibu Fatmawati, diiringi lagu Indonesia Raya. Berita kemerdekaan pun menyebar ke seluruh penjuru negeri.

Babak Baru: Revolusi Fisik dan Diplomasi (1945-1949)
Proklamasi adalah gerbang, bukan tujuan akhir. Belanda, membonceng pasukan Sekutu (AFNEI), kembali untuk merebut kembali koloninya. Bangsa Indonesia memulai periode perjuangan bersenjata dan diplomasi yang sangat berat. Pertempuran heroik meletus di mana-mana: Pertempuran 10 November di Surabaya, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api, dan Medan Area.
Perang Gerilya dan Meja Perundingan
Di meja perundingan, Indonesia berjuang keras melalui Perjanjian Linggarjati (1947) dan Renville (1948) yang seringkali merugikan. Belanda bahkan melancarkan Agresi Militer sebanyak dua kali. Saat Agresi Militer II, Belanda merebut ibu kota Yogyakarta dan menawan para pemimpin. Namun, perjuangan tidak berhenti. Para pejuang membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Di saat yang sama, Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya dari pedalaman, membuktikan bahwa perlawanan rakyat tidak pernah padam. Puncaknya, mereka melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk membuktikan kepada dunia bahwa TNI dan Indonesia masih ada.
Puncak Perjuangan: Pengakuan Kedaulatan
Tekanan internasional dan perlawanan gigih bangsa Indonesia akhirnya memaksa Belanda kembali ke meja perundingan. Puncaknya adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Pada 27 Desember 1949, Pemerintah Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Perjuangan berdarah selama empat tahun lebih akhirnya membuahkan hasil pengakuan dunia.
Kesimpulan: Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah mozaik dari berbagai perjuangan. Ini adalah kisah tentang bagaimana perlawanan bersenjata, kecerdasan berpolitik, dan kegigihan diplomasi bersatu padu untuk melahirkan dan mempertahankan sebuah bangsa. Setiap tahap, dari Sumpah Pemuda hingga Konferensi Meja Bundar, merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang bangsa Indonesia merebut takdirnya sendiri.
MERDEKA!
